MEANING OF LIFE, JOURNEY, TRAVELLING AND HAPPINESS

Kamis, 16 Juni 2016

"Titik Nol" Makna Sebuah Perjalanan

                                       
"Perjalanan adalah keberanian, penaklukan, impian, 
pergulatan, perayaan dan ekstasi" - Agustinus Wibowo

Titik Nol judul bukunya. Di sampulnya terdapat gambar seorang anak Uzbekistan sedang melayang indah di udara dengan latar belakang biru nya langit, setelah loncat dari atas pohon kering tanpa daun. Buku ini syarat akan makna, makna dalam setiap perjalanan yang dilakukan sang penulis dari satu negara ke negara lain di Asia Tengah. Tidaklah heran, cover buku bagian bawahnya terdapat kalimat "Titik Nol Makna Sebuah Perjalanan". Adalah Agustinus Wibowo pria asal Lumajang yang memulai perjalanan saat menginjak umur 22 tahun. 

Lalu apa yang menarik dari buku setebal 552 halaman ini? Bukan dari keberanian sang penulis yang melakukan perjalanan dari Beijing, Tibet, Nepal, India, Pakistan sampai Afghanistan. Tetapi 'perjalanan' didalam hatinya, kontemplasi-nya dan perjuangan-nya untuk bertahan hidup dari satu daerah ke daerah lain dengan status 'musafir'. Bukan sebagai backpacker atau bahkan turis. Membaca buku ini kembali mengingatkan ku bahwa hidup ini bagaikan sebuah perjalanan, dan setiap masing-masing orang adalah musafir untuk mencapai satu tujuan dengan cara yang berbeda-beda. Bahwa hidup adalah untuk berjuang, untuk melanjutkan nafas. Pegunungan Himalaya sampai Annapura di dakinya, sampai kematian hampir benar benar mendekatinya. Pendakian yang benar benar menguras fisik dan juga mental. Pencarian akan sebuah makna. Ada satu pernyataan yang saya suka perihal mendaki gunung :

"Perjalanan turun adalah proses melucuti ego. 
Jauh lebih mudah memupuk kekayaan sepanjang hidup, daripada melepaskan 
semua itu menjadi pertampa hampa. Ini kebalikan dari pendakian, 
yang sejalan dengan logika ambisi: berjuang untuk lebih tinggi dan tinggi" 
(halaman 205)

Bagi kamu yang suka mendaki gunung, kamu pasti tau bahwa turun gunung bukanlah perihal hal yang mudah, kawan! Berpacu dengan gravitasi, gerakan ingin cepat sampai bawah (yang mewakili ego pada diri manusia), tapi apa daya kelak kau akan jatuh jika turun gunung hanya ber-modalkan ego. Perlu tekhnis khusus alias 'melucuti ego' saat turun gunung agar seimbang dan tidak jatuh. Begitupun dalam hidup. Bersiapkah kau turun dengan kebanggaan, sampai pada titik nol?

"Lepaskanlah segala sesuatu justru pada saat kau masih menikmatinya, 
sebelum mencapai titik jenuh ketika kenikmatan itu malah berbalik arah 
menjadi kebosanan, penlakan, penyangkalan, kebencian." 
(halaman 270)

Makna perjalanan yang mendalam, ditambah bumbu 'spiritual' serta keindahan alam yang tersembunyi menjadi point penting dalam buku ini. Negara negara di Asia Tengah (yang bukan menjadi tujuan utama turis mancanegara) memiliki daya tariknya sendiri. Menjamu tamu asing dengan sangat luar biasa meski mereka hidup dalam keterbatasan. Salah satunya, di perbatasan antara India dan Nepal yaitu di Kashmir. Maka tak heran Kashmir disebut sebagai 'surga dunia yang merana'. Keindahan alam dan keramah-tamahan masyarakat Khasmir berhasil di gambarkan sang Agustinus Wibowo dengan cukup apik. Membuat saya penasaran sebenernya apa yang membuat masyarakat (yang mayoritas beragama islam) disana sangat baik di tengah banyak kekurangan yang mereka hadapi. "Berbagi dengan sesama memancarkan energi positif di dalam hati, lalu menumbuhkan kebahagiaan. Makin banyak energi positif yang terpancar, maka makin besar keinginan untuk berbagi dan makin merasa sangat bahagia". 

Perjalanan itu seperti menguji iman dan keyakinan kita. Akan selalu ada kerikil, jalan berlubang, tanjakan curam untuk mengetes seberapa kuat iman kita. Mengalirlah! Ya memang seperti ini hidup, bukan terus terusan memaksakan keinginan kita dalam bentuk takdir versi manusia.

"Hidup itu ajaib. Jalan ceritanya serba tak terduga. 
Lihatlah, takdir itu justru selalu mengincar orang yang menolaknya. 
Itu bukan takdir. Itu pilihan" 
(halaman 84-85)

Soal ketuhanan memang tidak ada habisnya untuk dibahas. Dan ini menarik perhatian ku dalam buku ini. Sesuatu yang sangat fundamental dan keyakinan yang kuat bernama 'agama' mampu membawa seseorang untuk melakukan hal hal di luar batas kemampuannya. Seperti peziarah yang rela merangkak mengelilingi gunung suci Kailash (salah satu puncak gunung di Pegunungan Himalaya), dan dipercaya bahwa dosa seumur hidupnya akan dihapus. Di buku ini secara ekplisit membahas tentang berbagai ajaran agama. Sang penulis pun mengikuti ajaran dan budaya berbagai agama, seperti agama Budha di Tibet, agama Hindu di Nepal dan India sampai agama Islam di Pakistan dan Afghanistan. Bukan hanya perjalanan dari sang penulis, tetapi perjalanan 'spiritual' almarhum Ibunya ikut di gambarkan dengan jelas. 

"Kebahagiaan itu tidak pasti. Cuman kematian yang pasti. 
Ingatlah akan kematian, itu kunci kebahagiaan. 
Berterima kasihlah pada kematian. 
Karena kematian adalah guru terbesar dalam kehidupan." 

Ada tiga hal penting dalam setiap agama yaitu syariat (aturan), tarekat (jalan) dan hakikat (kebenaran). Dan diantara ketiga poin itu, hakikat alias kebenaran adalah yang paling penting. Jika setiap umat dalam setiap agama merasa agama mereka yang paling benar, maka untuk apa adanya perang antar umat ber-agama? Tidak akan ada akhirnya perkara tersebut. Seakan akan nyawa manusia tidak ada artinya. Agama adalah pilihan. Pilihan yang berdasarkan hati terdalam, bukan hanya topeng atau identitas semata. Agama yang paling benar adalah yang mengajarkan 'kemanusiaan'.

Agustinus Wibowo berhasil membawa saya melihat negara negara di Asia Tengah dari sisi yang beraneka ragam. Mengungkapkan sisi 'wisata' lain yang terasa sangat nyata, terus terang dan apa adanya. Terdapat banyak kebahagiaan dibalik kemiskinan, kelaparan, peperangan antar etnis dan agama serta berbagai bentuk politisasi yang tidak men-sejahterakan rakyat. Lalu rasanya, kita perlu sangat bersyukur terlahir di tanah Indonesia, dengan kebebasan memilih agama dan saling toleransi atar suku, agama dan budaya. Bhinneka Tunggal Ika!

Lalu kenapa judulnya Titik Nol? Setiap perjalanan pasti akan berujung pada akhir, pada kata 'pulang' dan pada kata 'rumah'. Titik Nol saat memulai perjalanan adalah Titik Nol pada saat akhir perjalanan. Bentuknya lingkaran, tanpa batas dan hanya memiliki satu titik.

"Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali. 
Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta tanpa bubar, 
tiada pertemuan tanpa perpisahan dan tiada perjalanan yang tanpa pulang"

Fakta nya saya terbuai dengan buku terbitan tahun 2013 ini yang juga merupakan buku ketiga dari Agustinus Wibowo. Sebelumnya ada buku berjudul "Garis Batas: Perjalanan di Negeri Negeri Asia Tengah" dan "Selimut Debu". Selamat membaca, semoga menginspirasi ya! Kalau ada yang mau pinjam  bukunya silahkan kabari saya. Sebelum ditutup, ada beberapa kalimat yang menggambarkan perjalanan buku ini :

"Dari sinilah sebuah perjalanan bermula. Fantasi tentang negeri awan, ambisi untuk menaklukan, liarnya alam, menggapai yang tinggi, pembuktian diri, menyibak negeri antah berantah. 
Semua manusia di tengah perjalanan, berbagai cara, berbagai tujuan, berbagai warna, 
berbagai cerita, berbagai keyakinan, berbagai perjuangan, berbagai fase. 
Perjalanan adalah keberanian, penaklukan, impian, pergulatan, perayaan dan ekstasi. 
Perjalanan adalah keheningan, perjalanan adalah saat teduh, perjalanan adalah meditasi, perjalanan adalah spiritualis, perjalanan adalah pencarian, 
perjalanan adalah penyucian, perjalanan adalah berserah. 
Perjalanan adalah perhentian, pembebasan, ratapan, pertahanan hidup, karma. 
Perjalanan adalah pencerahan, perjalanan adalah pulang, perjalanan adalah hidup, 
hidup adalah perjalanan. Dimanakah titik akhir itu?"







Read More

Minggu, 12 Juni 2016

Imajinasi Perasaan


"Logika membawa Anda dari A ke B. 
Imajinasi membawa Anda kemana saja" - Albert Einsten

Imajinasi selalu indah, imajinasi meng-asikkan, imajinasi selalu berakhir dengan ending bagaimana pelaku utama menginginkannya. Seperti kata Albert Einsten tadi, imajinasi membawa Anda kemana saja. Apa kamu pernah ber-imajinasi? Atau bahkan imajinasi adalah aktivitas rutin kamu? Bagiku, imajinasi bisa membawa aku menjadi siapapun dan apapun, bahkan menjadi seseorang yang terlihat 'ahli' dalam beberapa hal yang sama sekali aku tidak bisa.

Bagaimana dengan ber-imajinasi terhadap perasaan orang lain pada kamu? Bukan orang lain, akan tetapi orang yang kamu kagumi. Pernah kau merasakannya? Bagaimana rasanya? Menyenangkan kah? Hanya dalam imajinasi saja, rasa riang tak terkendali bisa begitu datang dengan mudahnya. Tapi terasa sulit menjadikan imajinasi sebuah kenyataan yang sungguhan. Apa alam semesta belum mengizinkannya? Lalu bolehkan aku terbelenggu dengan imajinasi yang sungguh menyenangkan hati (sesaat) selamanya?

Perasaan bisa timbul begitu saja. tanpa alasan dan tanpa tanda-tanda sebelumnya. Rasa itu muncul, tanpa menanyakan terlebih dahulu apakah orang itu sudah siap menerima nya atau belum. Ah kau wahai perasaan begitu egois! Lalu lambat laun, aku coba menerima perasaan itu. Menerima dan 'menikmatinya'. Tetapi hanya untuk menikmatinya saja, aku masih perlu melewati tahap perjuangan. Bagaimana bisa hal yang sudah kamu terima (dengan susah payah tanpa persetujuan sebelumnya) lalu kamu 'dipaksa' untuk menikmati, akan tetapi ada 'perjuangannya' didalamnya. Pelik memang atau aku sendiri yang membuatnya cukup pelik?

Katanya perasaan itu adalah sebuah anugerah. Tergantung kamu mau memilih menyatakannya atau memendamnya. Perasaan tidak bisa disalahkan. Karena perasaan datang tanpa berhak kamu putuskan kepada hati siapa dia akan berlabuh. Perasaan yang melebihi dari rasa suka dan kagum yang sudah terlalu overdosis, disertai dengan perasaan lainnya atau perilaku yang tak biasa. Seperti kata Boy Chandra dalam bukunya yang berjudul 'Catatan Pendek Untuk Cinta yang Panjang' berbunyi seperti ini :

"Karena aku percaya saat mencintai, 
kita hanya perlu memberi hati, 
tanpa perlu berharap lebih dari apa yang kita beri"


Kamu tau lagu Payung Teduh yang judulnya 'Mari Bercerita'? Seperti itulah kondisinya 'sesungguhnya berbicara denganmu tentang segala hal yang bukan tentang kita, selalu bisa membuat semua lebih bersahaja'. Iya benar sungguh sangat bersahaja. Kalimat bahkan segala pemikiranmu telah berhasil membuatku menyerah untuk mengendalikan perasaan aneh ini.

Lalu, bolehkah mulai hari ini aku memilih untuk menikmati perasaan melalui imajinasi? Karna nyatanya, aku tidak mampu membawa imajinasi pada logika apalagi kenyataan. Apa karna persoalan gender? Apa karna aku wanita sehingga ada 'batasan batasan' di dalamnya? Makin terus dipikirkan, di observasi, di rasakan dan berujung (pada akhirnya) di jalani ternyata cukup berhasil membuat aku kebingungan. Ketakutan melakukan kesalahan terhadap seseorang yang disuka. Pada akhirnya aku hanya bisa berjuang dalam 'diam'. Lalu berjuang dalam doa. Dan ber-pasrah...kalau jodoh tidak akan kemana dan akan segera dekat atau di dekatkan oleh Allah SWT. Aamiin.

Tulisan edisi hampir galau, tapi belum sampe batas limit ke-galau-an kok!

Read More

Total Tayangan Halaman

NungaNungseu. Diberdayakan oleh Blogger.